Oleh : Cut Maisyura /Penyuluh Pertama
Kedelai merupakan salah satu tanaman kacang-kacangan penting yang mempengaruhi perekonomian negara dan menyangkut hajat hidup orang banyak. Kebutuhan kedelai dalam negeri dari tahun ke tahun yang selalu mengalami peningkatan tidak diimbangi dengan peningkatan produksi yang memadai menyebabkan peluang impor kedelai selalu terbuka dan meningkat setiap tahunnya.
Salah satu hambatan dalam upaya meningkatkan produksi kedelai adalah serangan penyakit karat yang disebabkan oleh Phakopsora pachyrhizi. Penyakit karat telah tersebar luas di sentra produksi kedelai di dunia. Di Indonesia, penyakit karat terdapat di sentra produksi kedelai di Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan, dan Sulawesi (Semangun 1991).
Penyakit karat merupakan penyakit penting pada kedelai, terutama pada pertanaman musim kemarau. Di Indonesia penyakit karat pertama kali ditemukan di Yogyakarta dan Surakarta pada tahun 1900, tetapi pengamatan lebih intensif baru dilakukan pada tahun 1960-an. Kehilangan hasil akibat penyakit karat di Indonesia mencapai 90% (Sudjono et al. 1985).
GEJALA PENYAKIT KARAT
Gejala kerusakan tanaman akibat serangan penyakit karat kedelai adalah terdapatnya bintik-bintik kecil yang kemudian berubah menjadi bercak-bercak berwarna coklat pada bagian bawah daun, yaitu uredium penghasil uredospora. Serangan berat menyebabkan daun gugur dan polong hampa.Terjadi bercak- bercak kecil berwarna cokelat kelabu atau bercak yang sedikit demi sedikit berubah menjadi cokelat atau coklat tua. Bercak karat terlihat sebelum bisul- bisul (pustule) pecah. Bercak tampak bersudut-sudut karena dibatasi oleh tulang-tulang daun tepatnya didekat daun yang terinfeksi.Biasanya dimulai dari daun bawah baru kemudian ke daun yang lebih muda. Penyakit karat menyebabkan daun menjadi kering dan rontok sebelum waktunya.
Penyebab Penyakit
Penyakit karat disebabkan oleh cendawan P. pachyrhizi. Spora cendawan dibentuk dalam uredium dengan diameter 25−50 µm sampai 5−14µm. Uredospora berbentuk bulat telur, berwarna kuning keemasan sampai coklat muda dengan diameter 18−34µm. Permukaan uredospora bergerigi. Uredospora akan berkembang menjadi teliospora yang dibentuk dalam telia. Telia berbentuk bulat panjang dan berisi 2−7 teliospora. Teliospora berwarna coklat tua, berukuran 15−26 µm sampai 6−12 µm. Stadium teliospora jarang ditemukan di lapangan dan tidak berperan sebagai inokulum awal.
Siklus Penyakit dan Epidemiologi
Epidemi didorong oleh panjangnya waktu daun dalam kondisi basah dengan temperature kurang dari 280º C. Perkecambahan spora dan penetrasi spora membutuhkan air bebas dan terjadi pada suhu 8 - 280º C. Uredia muncul 9-10 hari setelah infeksi dan urediospora diproduksi setelah 3 minggu. Kondisi lembab yang panjang dan peiode dingin dibutuhkan untuk menginfeksi daun- daun dan sporulasi. Penyebaran urediniospora dibantu oleh hembusan angin pada waktu hujan. Patagen ini tidak ditularkan melalui benih.
Tanaman Inang
Cendawan P. pachyrhizi merupakan parasit obligat, yang apabila tidak terdapat tanaman kedelai dilapangan maka spora dapat hidup pada tanaman inang lain. Spora hanya bertahan 2 jam pada tanaman bukan inang. Spora tidak dapat bertahan pada kondisi kering, jaringan mati atau tanah. Jika tidak ada tanaman kedelai, gulma yang termasuk ke dalam famili Leguminosae dapat menjadi tanaman inang alternatif. Dari 27 jenis tanaman Leguminosae yang diuji, tujuh di antaranya menunjukkan reaksi hipersensitif sehingga infeksi pada tanaman tersebut tidak menghasilkan spora.
Sudjono (1979) menyatakan bahwa dari 17 jenis tanaman kacang-kacangan selain kedelai yang diinokulasi secara buatan, tiga di antaranya menunjukkan gejala yang bersporulasi, yaitu kacang asu, kacang kratok, dan kacang panjang. Oleh karena itu, keberadaan tanaman tersebut perlu diwaspadai.
Tanaman inang berperan sangat penting dalam terjadinya penularan ke musim tanam berikutnya, jika tanaman kedelai tidak ada di lapangan, ada beberapa jenis gulma dapat menjadi tanaman inang P.pachyrhizi. Selanjutnya dilaporkan bahwa 31 spesies dari 17 genus tanaman kacang-kacangan dapat terinfeksi P. pachyrhizi, di antaranya kacang merah (Phaseolus vulgaris), kacang hijau (Phaseolus radiatus), kacang krotok (Phaseolus lunatus), kacang tunggak (Vigna linguat a), dan kacang lupin (Lupinus hirsitus) (Monte et al. 2003)
PENGENDALIAN
Varietas Tahan
Sebelum melakukan tindakan pengendalian, perlu dilakukan pemantauan.Penyakit karat termasuk penyakit yang cepat perkembangannya (dengan periode laten 9 hari). Spora dapat terbawa oleh angin, air atauseranggasehingga penyakit dapat menyebar ke segala arah, yang didukung dengan cuaca yang sesuai sepanjang tahun. Pemantauan penyakit karat dimulai pada saat tanaman kedelai berumur 3 minggu. Pengendalian penyakit dilakukan apabila intensitas serangan telah mencapai 5% untuk varietas unggul tahan karat. Untuk varietas rentan, keberadaan satu bercak saja dalam areal pertanaman kedelai sudah harus dilakukan upaya pengendalian. Menanam varietas kedelai yang tahan penyakit karat merupakan cara pengendalian yang murah, mudah dilaksanakan, dan tidak mencemari lingkungan. Menanam varietas tahan dimaksudkan untuk mengurangi jumlah inokulum awal (Zadoks dan Schein 1979).
Ketahanan suatu varietas terhadap suatu penyakit umumnya tidak berlangsung selamanya. Jika muncul ras baru yang lebih virulen, ketahanan varietas tersebut akan patah, oleh karena itu adanya varietas-varietas baru kedelai yang tahan terhadap penyakit karat sangat dibutuhkan dalam upaya mengendalikan penyakit tersebut.
Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi) telah melepas beberapa varietas unggul kedelai dengan ketahanan terhadap penyakit karat yang bervariasi. Sejak tahun 1999, telah dilepas empat varietas unggul kedelai dengan kategori agak tahan, satu varietas toleran, sedangkan dua varietas lainnya tidak diketahui ketahanannya terhadap penyakit karat.
Tabel : Beberapa varietas unggul kedelai dan ketahanannya terhadap penyakit karat
Nama Varietas |
Ketahanannya terhadap penyakit karat |
Burangrang |
Toleran |
Sinabung |
Agak Tahan |
Kaba |
Agak Tahan |
Tanggamus |
Agak Tahan |
Anjasmoro |
Agak Tahan |
Ijen |
Belum diketahui |
Panderman |
Belum diketahui |
Varietas yang toleran dapat terinfeksi patogen karat, tetapi masih dapat menghasilkan biji. Varietas dengan kategori agak tahan memiliki ketahanan terhadap penyakit karat yang berada antara tahan dan agak rentan. Apabila menanam varietas yang agak tahan, perlu dipadukan dengan cara pengendalian lain, misalnya dengan fungisida nabati.
Fungisida Nabati
Pengendalian dengan fungisida nabati mempunyai keunggulan karena tidak mencemari lingkungan, bahannya tersedia di lingkungan sekitar, dan lebih murah daripada fungisida sintetis (Kardinan 1998). Menurut Zadoks dan Schein (1979), jumlah inokulum awal berperan penting dalam memicu terjadinya ledakan penyakit.
Oleh karena itu, pengendalian dengan fungisida nabati dimaksudkan untuk mengurangi jumlah inokulum awal.
Minyak cengkih mengandung bahan aktif eugenol (Guenther 1990) yang berkhasiat menghambat perkembangan beberapa mikroorganisme penyebab penyakit, seperti Fusarium oxysporum pada vanili, serta Phytophthora capsici, Rhizoctonia solani, dan Sclerotium rolfsii pada lada (Tombe et al. 1992).
Balitkabi telah melakukan penelitian untuk mengetahui efektivitas minyak cengkih dalam melindungi tanaman kedelai dari infeksi penyakit karat. Intensitas serangan karat pada tanaman tanpa perlakuan minyak cengkih cukup tinggi, sedangkan daun tanaman kedelai yang diberi perlakuan minyak cengkih secara visual tampak sehat dan tidak terdapat atau sedikit gejala penyakit karat, sedangkan daun tanpa perlakuan minyak cengkih terdapat gejala penyakit karat
Agens hayati
Pengendalian dengan agens hayati dimaksudkan dengan mengaplikasikan mikroorganisme antagonis dari penyebab penyakit. Menurut Zadoks dan Schein (1979), cara pengendalian tersebut dapat meminimalkan jumlah inokulum awal dan mengurangi perkembangan penyakit. Keunggulan cara pengendalian tersebut adalah tidak mencemari lingkungan dan dengan satu kali aplikasi, efek residunya dapat bertahan lama, sampai beberapa musim tanam.
Mikroorganisme antagonis yang sering digunakan untuk mengendalikan penyakit karat adalah bakteri Bacillus dan cendawan Verticillium. Menurut Baker dan Cook (1974), mekanisme pengendalian dengan antagonis dikategorikan menjadi tiga, yakni: 1) antibiosis, yaitu mengeluarkan senyawa kimia yang dapat mematikan penyebab penyakit, 2) hiperparasit, yaitu antagonis memarasit penyebab penyakit, dan 3) kompetisi, yaitu persaingan makanan atau tempat hidup antara antagonis dan penyebab penyakit.
Di Indonesia, pada ekosistem pertanaman kedelai yang terik panas, penggunaan mikroorganisme antagonis mungkin keberhasilannya rendah. Namun, kondisi yang demikian dapat diantisipasi melalui cara aplikasinya, misalnya diaplikasikan pada sore hari. Waktu sore sampai pagi hari berikutnya memberi peluang kepada mikroorganisme antagonis untuk masuk ke dalam jaringan tanaman. Selanjutnya, setelah aplikasi agens hayati, tanah diairi agar lingkungan menjadi lembab
Penggunaan bakteri sebagai agens antagonis juga berpeluang untuk pengendalian penyakit karat karena bakteri masuk ke dalam jaringan tumbuhan dan mengikuti transportasi cairan di dalam sel tanaman sehingga tidak terkena panas matahari secara langsung. Beberapa jenis formulasi seperti Ballad buatan Amerika Serikat telah dipasarkan. Ballad mengandung Bacillus pumulis dangula amino. Gula amino berfungsi 1) menghambat pembentukan sekat antarsel dan dinding sel baru, 2) merusak kesatuan sel, 3) mematikan sel-sel patogen, dan 4) bakteri itu sendiri merupakan pembatas bagi patogen untuk membentuk sporapada permukaan tanaman (Grath 2009).
DAFTAR PUSTAKA
Balitkabi (Balai Penelitian Tanaman Kacangkacangan dan Umbi-umbian). 2007. Deskripsi Varietas Unggul Utama Kacang kacangan Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi umbian,Malang. 37 hlm.
Baker, K.F. dan R.J. Cook. 1974. Biological Control of Plant Pathogen. W.H. Friman &Company. San Fransisco. 433 pp.
Grath. 2009. Product for Managing Diseases in Organic Vegetables mtm3@cornell. Edu. [13 Juli 2009].
Guenther, E. 1990. Minyak Atsiri. Jilid IVB (PenerjemahS. Ketaren). Universitas Indonesia, Jakarta. hlm. 480–494.
Kardinan, A. 1998. Prospek penggunaan bahan nabati di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 17(1): 1−8.
Monte, R.M., D.F. Reid, and G.L. Hartman. 2003. Soybean Rust: Is the US soybean cropat risk?. http://www.apsnet.org/online/ feature/rust/. [22 July 2008
Semangun, H.1991. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Gadjah Mada
Sudjono, M.S. 1979. Ekobiologi Cendawan Karat Kedelai dan Resistensi Varietas Kedelai. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 60 hlm.
Sudjono, M.S., M.M. Amir, dan M. Roechan. 1985. Penyakit karat dan penanggulangannya. Dalam Somaatmadja, S., M. Ismunadji, dan Yuswadi (Ed). Kedelai. Pusat Penelitian Tanaman Pangan, Bogor. hlm. 331−356.
Sumarno, M. Syam, S.O. Manurung University Press, Yogyakarta. 449 hlm.
Sumartini, 2010. Pengendalian karat pada kedelai dan cara pengendaliannya yang ramah lingkungan. Indonesian Agricultural Research and Development Journal: 29 (3)
Sumartini. 2009. Retensi minyak cengkih untuk pengendalian penyakit karat pada kedelai. Prosiding Seminar dan Kongres Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, Di Makassar. Inpress.
Tombe, M., K. Kobayashi, Ma’mun, Triantoro, dan Sukamto. 1992. Eugenol dan daun cengkih untuk pengendalian penyakit tanaman industri. Makalah disampaikan pada Seminar Review Hasil Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. 8 hlm
Zadoks, J.C. dan R.D. Schein. 1979. Epidemiology and Plant Disease Management.
Oxford Univ Press. New York. 427 pp.